Dalam Pernikahan, Wanita Harus Mau Jadi "Budak"

2 komentar
Sejak menikah, sebagai orang Jawa saya menyadari banyak hal yang tak sama aturannya dengan apa yang saya pikirkan. Saya sering melihat dan menyaksikan sendiri dalam kehidupan orang-orang terdekat saya akan pentingnya ilmu dalam sebuah rumah tangga. Bukan hanya ilmu menghitung uang belanjaan saja ya.. Tapi ilmu agama yang baik dan benar yang harus banyak dipelajari, baik sebelum ataupun sesudah menikah.

Kebanyakan orang Jawa, khususnya di desa. Seolah-olah, suami adalah orang yang sama dengan kita wanita. Suami adalah orang yang pantas untuk dibentak-bentak, tidak dilayani dengan baik dan selalu dikritik. Miris! Saya selalu takut dengan hal-hal tersebut. Seolah mereka tidak pernah belajar melalui Al-Qur'an dan buku-buku islam lainnya, bagaimana cara menghormati suami dengan baik dan benar. Malah yang bersikap patuh kepada suaminya dikritik habis-habisan. Jangan gini lah, janan gitu lah, harus begini dan begitu. Itulah, mengapa seorang yang telah menikah, sebaiknya hidup dirugmah sendiri, terpisah dari saudara, orang tua dan mertua, meskipun tinggal di gubuk reok dan beralaskan tikar. Tidak akan bisa, satu kapal di nahkodai oleh dua orang, mungkin begitulah perumpamaannya.

Selain itu, dijaman yang gempar menyuarakan emansipasi wanita ini, selalu menganggap wanita memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki, serta menganggap biasa saja jika wanaiata menikah diperbolehkan melakukan apapun yang dia mau. Pernah saya membaca dalam fanspage seorang ibu 5 anak sekaligus menjadi guru di homeschooling mereka. Ketika mendapat kritik dari sahabatnya perkara suaminya yang akhir-akhir ini selalu menangani masalahnya sendiri, mengerjakan apa-apa sendiri karena melihat sang istri sibuk mengurus ke lima anaknya. Padahal, sang suami ridho dengan apa yang ia lakukan, tapi perkataan sahabat "Bagaimana jika Allah tidak ridho", membuat ibu ini kembali kepada seharusnya istri kepada suaminya.

Hal itu juga yang sering saya pikirkan. Bagaimana mungkin saya menolak apa yang diminta suami kepada saya jika itu adalah hal yang harus saya kerjakan. Mungkin beberapa hal ini sering anda temui dikalangan masyarakat kita adalah sesuatu yang biasa terjadi. Tapi jika kita tidak pernah mencoba untuk mbangkang  dengan apa yang suami inginkan, InsyaAllah kebiasaan-kebiasaan itu gak akan bisa terjadi.

Yah.. meskipun pernah membuat suami marah, tapi setidaknya dari sanalah kita para istri belajar untuk taat kepada suami. Gak usah ikut-ikut trend, istri harus tegas, istri harus bisa seperti suami, atau istri harus punya penghasilan sendiri dengan bekerja diluar rumah. Tapi kembali lagi, setiap individu berbeda cara pikirnya, dan jalan yang mereka ambil adalah mungkin jalan terbaik dalam hidupnya. Tinggal kita milih yang mana :D, ya gak?

Dan berikut adalah cara saya dalam menjalani rumah tangga dan menghadapi respon orang-orang yang kurang setuju dengan apa yang saya kerjakan:

Cuek

Saya gak pernah peduli kata orang, orang bicara saya dengarkan. Karena dasarnya saya cuek, jadi ya.. gak masuk kedalam hati. Hanya mendengarkan hehe..

Menjauh

Menjauh ketika ada pembicaraan-pembicaraan yang mempengaruhi untuk mbangkang kepada suami. Ini hidup saya, dan menghadapi suami saya dengan segala kekurangan dan kelebihannya adalah juga tanggung jawab saya.

Meyakini hal yang baik

Saya suka tidak merespon dengan perkataan orang yang dari cara berpakaian saja masih tidak taat. Entahlah.. Jangan bilang saya sombong, karena menurut saya, mereka saja belum bisa mengurus diri mereka sendiri dengan baik, kok malah mengkritik orang lain.

Sabar dan lapang dada

Ini yang harus selalu dilatih dan dipelajari dalam segala hal, sabar dan lapang dada. Karena, menurut saya, seorang wanita yang telah menikah perumpamaan seorang budak yang harus menurut kepada suaminya selama masih dalam kebaikan.

Mungkin ada yang lain?
Husnul Khotimah
Seorang ibu yang senang menulis tentang motivasi diri, parenting dan juga tentang kehidupan sehari-hari di Jombloku. Semoga blog ini bisa membawa manfaat buat kita semua.

Related Posts

2 komentar

  1. Setauku kalau orang desa itu malah nurut2 sama suami loh. Di desa ibuku sih mungking beda culture yah. Aku sempet berdebat sama suami tentang perkara kata "budak"
    Aku gak rela dibilang budak :D
    Aku selalu bilang kita ini seperti raja dan ratu. Kalau kayak raja sama budak kelaut ajaah :D
    Dan suamiku lebih suka perumpamaan raja dan ratu. Kalau lagi diluar aku jadi ratu tapi kalau di rumah suamiku yg jadi raja. Saling melengkapi tanpa membuat perbedaan kasta yang jauh :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha.. boleh boleh.. silahkan raja dan ratu. Perumpamaan beda-beda gak papa.. Awalnya saya juga gak suka denger kata budak. Tapi lama-lama, saya ngerasa memang benar seperti itu, yang penting kenyataannya kita diperlakukan sebagai ratu :v.. permaisuri dink.

      Hapus

Posting Komentar