Ketika "Literasi" Membuka Pintu Kebahagiaan Saya dan Orang-orang di Sekitar Saya

45 komentar

"Apa kabarnya 'aku,' apakah cara hidupmu sudah berubah?"

"Apakah caramu memandang hidup sudah tak lagi sama seperti dulu. Kalau iya, selamat! kamu sudah memasuki tahapan hidup yang lebih baik. Itu... kalau yang kamu pilih adalah sesuatu yang membuatmu bahagia, tentu saja!

bahagia

***

Dari banyaknya rasa penasaran yang saya pendam di dalam sanubari, ada kalanya saya (justru) merasa heran sendiri dan bertanya-tanya, "bagaimana bisa.. saya suka bersusah-payah menahan diri dan begitu enggan untuk membahagiakan diri sendiri?"

Tapi, itu benar-benar terjadi pada diri saya semasa remaja. Entahlah... saya tidak begitu tahu apa yang memotivasi saya untuk bersikap pelit dan (sedikit) kejam pada diri sendiri.

Motivasi dan mentalitas hidup seperti itulah yang lebih banyak mewarnai masa-masa remaja saya. Saya begitu irit (baca: pelit) hingga enggan ngeluarin uang kalau bukan buat beli makanan yang kualitas rasanya "seng penting wareg" (yang penting kenyang) dan buat beli kebutuhan yang memang tak bisa saya hindari, seperti sabun (toiletries) anak remaja.

Ketika saya menginginkan hal-hal lain seperti baju-baju bagus atau buku-buku menarik yang menjadi dambaan saya sebagai wanita sekaligus orang yang haus ilmu, saya justru menahan diri dan merasa “eman” (sayang). Padahal, saya sendiri menyadari jauh di lubuk hati saya yang paling dalam, saya sangat menginginkannya.

Namun beberapa tahun terakhir ini, satu per satu belenggu keinginan-keinginan tertahan itu akhirnya berhasil dilepaskan oleh dia yang kini menjadi belahan jiwa saya. Dia, membuat saya menyadari banyak hal meskipun membutuhkan waktu yang tidak sebentar, lebih dari 5 tahun tepatnya.

Bahwa membahagiakan diri sendiri juga sebuah penghargaan hidup yang tidak boleh dilupakan. Membahagiakan diri sendiri adalah salah satu tujuan kita hidup di dunia ini.

Diantara kata-katanya yang paling berkesan buat saya adalah, "Siang malam kamu bekerja mencari uang, buat apa? Kalau sampai membuatmu 'lupa membahagiakan diri sendiri.' Bahagiakan dirimu!"

"Jangan nunggu sukses? Iya kalau kamu ditakdirkan sukses sebelum dipanggil-Nya. Bahagiakan dirimu dengan cara yang Dia perbolehkan, ini akan membuatmu lebih pandai bersyukur dan akan membuat orang di sekitarmu turut merasa bahagia. Kalau uangmu habis demi membahagiakan diri sendiri, jangan khawatir! nanti kita cari lagi." Begitu imbuhnya.

Ternyata dalam kata-kata yang sesederhana itu, terbesit kesan yang mendalam buat saya. Mungkin karena selama ini saya berusaha (terlalu keras) untuk membahagiakan orang-orang di sekitar saya, hingga lupa membahagiakan diri sendiri.

Ibarat lilin. Ia menerangi sekelilingnya, tapi dirinya sendiri terbakar. Mungkin begitulah saya saat masih muda.

Yaa.. meskipun pendapat saya di atas terdengar sedikit subjektif. Dan, saya yakin tidak semua orang setuju dengan pernyataan tersebut. Tapi saya yakin, jauh di lubuk hati setiap orang. Mereka pasti ingin merasakan kebahagiaan dengan caranya masing-masing.

Ini membuat saya teringat pada membaca buku "Bahagia Bersama" karya Kang Maman yang berkolaborasi dengan JNE dan Mice. Di sana, kang Maman mendeskripsikan "kebahagiaan" sebagai keberhasilan membahagiakan diri sendiri dengan berbagi kepada sesama. 

Menurut kang Maman, sesulit apapun keadaan kita, ketika kita berhasil membagikan diri sendiri dengan membahagiakan orang lain, maka itulah sumber kebahagiaan yang sesungguhnya.

Betul, kebahagiaan itu menular.. begitu cepatnya, hingga sering tidak kita sadari kehadirannya.

Jangan menunggu ada atau tidak harus menunggu kaya dulu, tapi "bahagialah" sekarang juga! setidaknya kesimpulan itulah yang saya tangkap di awal-awal membaca buku Bahagia Bersama ini. Persis seperti "sounding" dari si Dia-ku itu.

"Berbagi tidak harus menunggu kaya" - Buku Bahagia Bersama, Hal. 11.

Saya sendiri sampai tak habis pikir, bagaimana bisa saya sepelit itu pada diri sendiri, bahkan untuk sebuah "kebahagiaan" kecil bagi diri sendiri.  

Tapi sebelum teman-teman ikutan esmosi karena kepelitan saya pada diri sendiri, biar saya jelaskan dulu bagaimana kehidupan saya sebelum menikah dulu.

Kehidupan Saya Sebelum Menikah

Di usia 14. Langsung setelah saya mengantungi ijazah MTS, karena secara ekonomi orang tua saya saat itu tidak mampu menyekolahkan saya ke jenjang yang lebih tinggi. Saya, pada akhirnya memberanikan diri mengadu nasib di kota. Di mana banyak tinggal orang-orang kaya yang tidak sempat mengurus anaknya.

Meski tahu bahwa banyak orang kota yang sibuk bekerja. Tapi tak terbayangkan di benak saya jika, (banyak) orang-orang di sana bekerja sampai tak sempat mengenal tetangga dan tak sempat lagi mengurus anaknya.

Singkatnya, saya adalah seorang gadis desa yang "nekat" mengadu nasib di kota tanpa bekal tanpa pembimbing. 

Dan, seperti penduduk kampung lainnya, kami bekerja di rumah-rumah orang kaya yang super sibuk itu. Segera saya menyadari, kehidupan di kota benar-benar kontras dengan kehidupan di desa. Di kota, (kebanyakan) penduduknya sibuk bekerja dan membangun karir. Hingga tak sempat mengurus rumah, tak sempat masak dan mencuci, apalagi sampai harus bertetangga dan mengurus anak.

Ketika menjadi PRT di usia 14. Apa yang terlintas di otak saya saat itu, sangat berbeda dengan saat ini. Saat itu, saya akan merasakan kebahagiaan kalau bisa menyelesaikan pekerjaan di rumah majikan dengan baik dan tepat waktu. Dan, tanpa omelan serta tanpa koreksi, tentunya! Hanya sebatas itu.

Jangankan untuk memikirkan diri sendiri, menemukan jalan untuk berpikir bebas saja rasanya sangat sulit. Saya benar-benar stuck, seperti katak dalam tempurung. 

Setelah saya mulai belajar mengenal diri sendiri lebih dalam--untuk menemukan sesuatu yang bisa membuat saya bahagia. Perlahan saya mulai melihat tabir penyebab mengapa dulu saya kurang bisa membahagiakan diri sendiri.

Saya merasa, tidak terliterasi dan kurang bergaul serta kurang pengalaman membuat saya kesulitan memaknai kehidupan. Hingga, saya sulit menemukan sumber-sumber kebahagiaan yang sesungguhnya.

Ya... saya tidak dapat menemukan kebahagiaan dari sisi di mana saya seharusnya menantang diri agar lebih pandai dan mampu berpikir kritis. Betul.. saya ibarat kerbau yang dicucuk hidungnya. Meskipun sejatinya, ia (kerbau) mampu melakukan apa saja yang dia mau, karena sesungguhnya ia memiliki kekuatan dan potensi yang lebih besar dari sekedar berkubang di lumpur.

Alih-alih mengejar kebebasan yang saya dambakan, saya ibarat kerbau yang lemah dan hanya menurut apa kata pemegang tali kekang. Tidak berani mencoba, itulah saya dulu.

Ketika "Literasi" Mengubah Mindset Saya Tentang Kebahagiaan

Sebenarnya, semenjak sekolah saya sangat suka membaca dan berpetualang. Saya hobi membaca dan haus pengetahuan. Saya selalu tertarik dengan buku, kegiatan membaca, merangkum, dan bahkan menulis.

Namun, meskipun saya suka menulis, tapi sungguh.. menulis tanpa literasi yang baik dan tanpa referensi yang berbobot membuat ide dan kosa-kata saya sulit berkembang.

Jadi, tak heran kalau saya hanya jago menulis buku diary yang isinya penuh keluh-kesah dan umpatan. Sungguh bukan contoh yang baik.

Hingga suatu saat, saya menemukan "sesuatu" yang tanpa saya sadari akan menjadi sumber pelajaran sekaligus menjadi penopang hidup saya di kemudian hari.

Sesuatu inilah yang belakangan membuat saya belajar banyak hal dan membuat saya mampu melihat kehidupan dari sisi yang berbeda. Serta, bisa menemukan "arti" kebahagiaan yang sesungguhnya.

Ya… Kalian pembaca setia blog ini pasti tahu apa yang saya maksud. Saya naik pangkat, dari PRT jadi penjaga warnet.

Meskipun kedudukan dari PRT ke penjaga warnet nggak jauh-jauh amat, tapi dampak “kenaikan pangkat” ini dalam kehidupan saya sungguh luar biasa. sangat signifikan, bahkan.

Entah… mungkin inilah yang disebut sebagai "kesempatan emas" itu!? Atau, mungkin inilah "takdir" itu sendiri.

Tapi sungguh… saya tak pernah menyesali "kenekatan" saya dulu menjadi PRT di kota besar. Belakangan, saya justru sangat bersyukur "pernah" berprofesi jadi PRT, babysitter, dan penjaga warnet.

Karena dari sanalah, saya bisa merencanakan dan menata kehidupan saya kini, dari sana saya belajar mandiri, menopang hidup, dan bahkan dari sanalah saya mengenal buku dan internet--yang belakangan mempertemukan saya dengan belahan jiwa saya kini. Sungguh, inilah nikmat-Nya yang tak mungkin saya ingkari.

Dari secuil pengalaman tersebut, terselip teman-teman bloger saya yang baik-baik. Yang sebagian besar hanya saya kenal melalui internet. Banyak diantara mereka yang mengirimkan buku buat saya. Sebagai kado ulang tahun, hadiah, atau apapun itu.

Saya sangat bersyukur, karena teman-teman yang saya kenal di dunia maya itu, ternyata tanpa saya sadari, justru menjadi kepanjangan tangan-Nya untuk mengantarkan "kebahagiaan" kepada saya lewat buku-buku yang mereka kirim.

"Bahagia itu ada di hati setiap orang yang bersyukur. Rasa syukur itu menjadi sempurna karena keikhlasan memberi, berbagi dan menyantuni." - Buku Bahagia Bersama, Hal. 69.

Begitu besar rasa syukur di dalam hati saya. Karena seperti yang saya ceritakan di atas. Dulu, membaca dan memiliki buku sebagai sumber ilmu dan referensi berkualitas, bagi saya hanya sebatas mimpi.

Faktor ekonomi, kungkungan mindset, hingga pengalaman hidup yang minim, membuat saya beranggapan bahwa saya tak perlu bahagia, asal orang-orang disekitar saya merasa bahagia. Bagi saya, itu sudah cukup.

Itulah sebabnya saya tak pernah "bernyali" mengeluarkan uang untuk membeli buku. Jangankan untuk membeli buku, untuk menabung buat masa depan saya dari uang gaji saya yang saat itu tak lebih 700 ribu per bulan pun saya tak terpikirkan. Karena, selalu saya kirimkan buat orang tua di desa, untuk kebahagiaan mereka. Karena ini adalah salah satu impian, cita-cita, dan tujuan saya bekerja di kota.

Kalau kamu bertanya, mengapa tidak membaca saja apa yang ada? Itulah yang saya lakukan, segera setelah saya naik pangkat jadi penjaga warnet.

Sekarang…. Setelah mengenyam sedikit pengalaman dan menikmati literasi dari profesi saya sebagai penjaga warnet, saya semakin pede untuk berekspresi dengan cara yang lebih luas dan bermakna.

Dari yang tadinya saya sebatas berkeluh-kesah di buku diary, menjadi bloger yang bisa membuat saya bahagia sekaligus menginspirasi banyak orang.

Menjadi bloger adalah sebuah kebanggan tersendiri buat saya. Karena melalui platform ini, saya mendapatkan banyak sekali manfaat. Beberapa diantaranya seperti,

  • Banyak membaca dan bahkan bisa menuangkan serta berbagi ide-ide dengan masyarakat dunia
  • Menjadi bloger juga membuat saya kini bisa mendeskripsikan sumber kebahagiaan dari perspektif yang lebih luas. Tidak lagi hanya sebatas "menyelesaikan pekerjaan dengan baik tanpa kesalahan”
  • Juga, saya yang tadinya hanya seorang gadis desa lulusan SLTP, yang nggak ngerti dunia bloger. Kini bisa paham, bahwa menulis dan berbagi gagasan dengan orang lain memberikan saya begitu banyak kebahagiaan
  • Membuktikan kepada orang tua bahwa saya bisa menjalani hidup lebih baik dan bahagia bersama dengan literasi. Setidaknya, saya bisa mengobati penyesalan beliau karena tidak mampu menyekolahkan saya. Itu bukan salah mereka, sama sekali bukan!
  • Serta, inilah profesi yang menjadi penopang ekonomi keluarga saya

Semua itu membuat saya semakin sadar bahwa, meliterasi diri itu penting. Perbanyak membaca dan menulis. Karena keduanya adalah (satu dari sekian) sumber kebahagiaan bagi diri sendiri dan orang lain.

Jika di sana, kalian menjumpai orang yang punya semangat belajar seperti saya, satu pinta saya, tolong dukung mereka, fasilitasi mereka, meski hanya dengan sebuah buku tua yang mungkin kini sedang teronggok lusuh di dalam kardus di gudang belakang.

Karena siapa tahu, di tangan orang lain, buku lusuh nan berdebu tersebut akan membawa banyak kebahagiaan dan mampu mengubah hidup mereka.

Idem seperti yang Kang Maman sampaikan dalam buku "Bahagia Bersama," berbagi tidak akan pernah mengurangi. Sebaliknya, justru akan membuat kita merasa (lebih) bahagia. Saya sendiri sudah membuktikannya.

"Connecting Happiness: Energi positif selalu bertemu dengan energi sejenis." Buku Bahagia Bersama, Hal. 18.

Dan, seperti tagline JNE "Connecting Happiness," siapapun bisa menjadi "jembatan" bagi kebahagiaan orang lain. Entah itu dengan berbagi buku, kelebihan ekonomi, fasilitas literasi, atau bahkan ide dan pengalaman, demi kemajuan Indonesia dan demi kehidupan anak bangsa yang lebih baik.

Husnul Khotimah
Seorang ibu yang senang menulis tentang motivasi diri, parenting dan juga tentang kehidupan sehari-hari di Jombloku. Semoga blog ini bisa membawa manfaat buat kita semua.

Related Posts

45 komentar

  1. Wooow salut dengan perjalananmu, mbak. Aku bisa paham, aturan ketat dan caramu membatasi diri di masa lalu hanya satu cara untuk bertahan hidup. Tapi perjalananmu luar biasa. Nggak semua orang dengan latar belakang yang sama, bisa sampai di titik ini. Cuma orang dengan kemauan kuat dan mungkin juga karma baik... Semangat terus ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Mbak Wiwied.. Semangat terus dong.. karena ada temen-temen bloger yang menginspirasi untuk terus maju dengan bahagia, dengan menjadi diri sendiri ^^

      Hapus
  2. Masya Allah. Aku terbawa bahagia baca tulisan ini. Mbak Inuel sesungguhnya orang yang cerdas, berpikir luas, dan paham tentang rasa. Apa yang mbak tulis merupakan bukti bahwa mbak telah bahagia dengan literasi. Semangat terus berbagi ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah.... Masih terus belajar mbak Katerina.. terimakasih untuk komentar penuh semangat dan energi positinya yaa...

      Hapus
  3. setuju banget kalo berbagi gak akan mengurangi harta kita malah justru bisa melimpahkan rejeki dan jadi berkah

    BalasHapus
  4. Halo mba. Semoga masih tetap semangat ya mba. Sepakat sekali bahwa berbagi itu tak akan berkurang tapi dengan berbagi akan memberikan kebahagiaan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe.. Mbak Alida pasti sering merasakannya juga 😎😁. Salam Literasi!

      Hapus
  5. Gemes banget sama ilustrasinya... bikin pakai aplikasi apa mba? Saya sepakat nih dengan konsep connecting happiness di mana bahagia juga datang dari berbagi, memberi dan menyantuni

    BalasHapus
    Balasan
    1. Canva, seperti biasa hehe.. sepakat sama JNE ya.. ^^

      Hapus
  6. Perjalanan hidup yang kini justru disyukuri ya mbak. Buat kami yang di kota besar, art/prt yg jujur, baik, dan cakap dlm bekerja sungguh sebuah berkah. Selamat, mbak menuai apa yang pernah mbak tanam, saat dulu bekerja dg baik. Semoga kelak semakin berani membahagiakan diri sendiri

    BalasHapus
  7. Akhir-akhir ini saya lagi sering berpikir tentang literasi. Saya pun setuju kalau dengan literasi bisa membuat bahagia. Makanya saya sedang berusaha mengingatkan terus di circle sendiri

    BalasHapus
  8. Masya Allah bener banget berbagi tidak merugi, itung itung sedekah yang bisa kita lakukan ya mbaa

    BalasHapus
  9. Mbaaa, masya Allah kamu keren!
    perjalanan panjang dan langkah berani untuk upgrade diri, keluar dari zona nyaman hingga seperti sekarang. Thanks for inspiring me!

    BalasHapus
  10. Jadi pengen baca buku Bahagia Bersama. Supaya bisa bersyukur dan merasa bahagia ya kan dengan kondisi yang ada. Bukan berarti menjadi stagnan tapi supaya bisa tetap terus berusaha untuk menjadi bahagia hehe. Memang sih kerja keras ya, tapi inilah latihan untuk bersyukur juga.

    BalasHapus
  11. ahh insoiratif mbak
    memang kita harus selalu bisa menemukan kebahagiaan kita ya mbak
    harus upgrade diri ya

    BalasHapus
  12. Menjadi 'pelit' ke diri sendiri aku pun pernah melakukannya. Ya, bukan masalah gak ingin tapi keadaan pula yang mendesaknya. Cara bertahan hidupnya di jaman dulu memang harus seperti itu. Hari ini bisa makan, belum tentu besok ada makanan. Itulah pemikiran dulu.

    Saya juga pernah mengadu nasib di kota besar. Melihat mereka, pikirannya kerja, kerja dan kerja mulu. Sampai saya balik kampung kerja di perusahaan, kebawa itu model kerja mulunya. Sampai lupa waktu, kadang lembur sampai jam 10 malam.

    Ritme hidupku mulai tenang itu setelah menikah. Alhamdulillah, Allah mengirimkan pria yang baik, sabar nasehatin saya tentang kerjaan.

    Bahkan, sekarang saya enggak sungkan lagi untuk nolak jam lembur. Mending pulang. Terus kalau mau beli sesuatu gak ragu kalau memang membuat hati bahagia.

    Membuat diri sendiri bahagia memang penting, biar kita selalu waras dan orang sekitar juga bisa ikut kecipratan kebahagiaan kita.

    Tetap semangat ya, Mbak. Mari kita sama-sama membahagiakan diri dan orang sekitar. 😊😊

    BalasHapus
  13. Yes, kita harus membahagiakan diri sendiri terlebih dahulu baru orang lain. Setuju dengan tagline nya JNE connecting happiness bahwa kita juga bisa menebar kebaikan.

    BalasHapus
  14. Itu bagian dari bentuk kebahagiaan kak Husnul Khotimah.
    Karena kebahagiaan itu gak egois. Kak Husnul Khotimah selalu berusaha berbagi dengan sekitar terutama orangtua.
    Salut banget, kak.

    Semoga aku bisa berhemat dan memberi kepada yang membutuhkan walaupun hanya sekecil zarra.

    BalasHapus
  15. Inspiratif, bahagia tersendiri dengan literasi membawa mba inuel menemukan sisi bahagianya sendiri

    BalasHapus
  16. Mba luar biasa perjalananmu itu, usia segitu saya malah lagi labil dengan kondisi keluarga yang sedang goyah..semangat dari tulisan ini menular, makasi sudah berbagi

    BalasHapus
  17. iya ya mba, kadang kita lupa membahagiakan diri sendiri, sibuk membahagiakan orang lain, padahal kalau kita bahagia, kita bisa lebih banyak membahagiakan orang lain, my self reminder juga nih^_^

    BalasHapus
  18. Apapun jalan hidup yang kita pilih sesungguhnya sudah takdir-Nya ya mbak. Salut dengan kisahnya. Semoga makin sukses di masa mendatang aamiin.
    Setuju juga bahwa berbagi kebahagiaan dengan org lain bikin hidup kita sendiri lebih berarti ya.

    BalasHapus
  19. Terkadang, kita sibuk mrmbahagiakan orang lain, tp kita lupa membahagiakan diri sendiri. Semangat terus yah mba

    BalasHapus
  20. Betul banget kita butuh memberi hadiah pada diri sendiri atas apa yang telah kita lakukan, itung2 charge semangat

    BalasHapus
  21. Masya Allah perjalanan hidup yang luar biasa mbak. Banyak sekali pengalaman yang bisa diambil. Senangnya kalau literasi menjadi passion yang mengubah jalan hidup kita ya mbak.

    BalasHapus
  22. MasyaAllah mbak. Sungguh luar biasa perjalanan hidup mbak. Inspiratif sekali. Memang benar mbak, salah satu cara kita keluar dari ketidakberdayaan adalah dengan berilmu. Ilmu bisa didapatkan dari mana saja. Membaca juga bisa didapatkan dari mana saja. Tak sekadar membaca buku, tapi membaca lingkungan, membaca keadaan, membaca orang-orang , membaca zaman dan sebagainya. Ini juga yang saya dapatkan setelah saya memaknai literasi dengan benar. Hikmah itu milik orang-orang yang beriman. Alhamdulillah.

    BalasHapus
  23. Masya Allah..inspiratif sekali kisah hidupnya, Mbak Inuel...Salut untukmu. Semoga apa yang dulu dialami terus menjadi penyemangat diri , semoga makin sukses ke depan ya Mbak. Setuju sekali, berbagi tidak akan pernah mengurangi. Sebaliknya, justru akan membuat kita merasa lebih bahagia

    BalasHapus
  24. Pengalaman hidup yang luar biasa, Mbak. Terima kasih ya sudah berbagi cerita, inspiratif banget. Memang literasi itu jendela dunia, bak kata orang bijak. Dengan bacaan kita bisa membaca dunia. Dengan membaca dunia kita jadi belajar dan bisa merubah mindset

    BalasHapus
  25. Melihat perjalanan dan milestone seseorang dalam kehidupan ini, aku selalu gak bisa berkata-kata. Rasanya, kesulitan yang aku alami dulu, belum ada apa-apanya. Sekarang kalau diceritakan kembali dan menjadi pelajaran bagi anak-anakku, rasanya malah ingin tertawa.

    Ini kebiasaan aku banget yaa..membandingkan-bandingkan kehidupan.
    Tapi kak Inuel bisa memotivasi pembaca untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, ini aku suka sekali.

    Jadi aku terpacu untuk melakukan apa yang bisa aku lakukan, yang paling simple adalah ke orang-orang di sekeliling aku dulu.

    Barakallahu fiik~

    BalasHapus
  26. Luar biasa sekali perjalanan hidupnya Mba. Alhamdulillah akhirnya bisa menemukan kebahagiaannya ya Mba

    BalasHapus
  27. Masa lalu berperan besar terhadap pengambilan keputusan seseorang memang ya mba. Salut dengan dirimu mba, yang akhirnya berhasil mengubah mindset untuk membahagiakan diri sendiri dengan cara sederhana. Literasi adalah kunci ya. Tulisan mba Husnul ini mengalir, tata bahasanya apik, pasti dirimu sudah banyak berproses selama ini. Tetap semangat ya mba!

    BalasHapus
  28. Ah, begitu besar ya mbak kesempatan yang datang dari literasi ini
    Cerita yang sangat inpsiratif mbak
    membuat saya makin termotivasi untuk terus menulis

    BalasHapus
  29. Bener banget, literasi dan tulisan ini memang mengubah hidup. Hidupku juga berubah dengan ini. Aku yang tadinya orang eksakta, yang kerjanya di lab, pada akhirnya bisa bergelut di dunia literasi. Yang gak hanya menyenangkan hati, juga membuat pundi-pundi rupiah ya mak.

    BalasHapus
  30. Insight-nya sangat menggugah hati mak, terkait dengan konsep bahagia ini. Terlebih ketika menyadari, iya ya, kerja capek-capek, siang malam, tapi kok lupa membahagiakan diri. Tapi mungkin, bagi sebagian orang, level kebahagiaan juga berbeda-beda, sehingga dengan tetap menunda kebahagiaan dirinya sendiri, ia berpikir suatu saat bisa berbahagia sepenuhnya. Who knows.

    BalasHapus
  31. Tetap semangat mba, cerita kebahagiaan ini justru jadi inspirasi buat saya sebagai pembaca

    BalasHapus
  32. Saya permah merasakan hal yang sama pelit pada diri sendiri, prioritas keluarga, pelan-pelan mulai suka ngasih reward pada diri sendiri dan itu bikin bahagia

    BalasHapus
  33. Beralih ke penjaga warnat, bukan hal yg kebetulan memamg sudah jalannya ya kan bun. Jadilah kita bisa kenal :) Gak ada yg perlu disesali dengan profesi dahulu, itu juga perlu disyukuri sebagai pembuka jalan menuju masa depan. Halah jangan diketok ya aku sok2 bijak :)
    Happy selalu ya

    BalasHapus
  34. Subhanallah, keren banget pengalaman hidupnya mba. Sangat menginspirasi, karena mba bisa menemukan apa yang membuat mba selalu bahagia ya

    BalasHapus
  35. mbaaa alhamdulillah literasi bikin bahagia ya, ikut bangga :")
    semangat selalu menemukan cara bahagia sendiri mba yang mungkin berbeda sama orang lain. proud!

    BalasHapus
  36. Jadi inget suamiku yang ddulu nabungnya imvestnya dalam bentuk buku setiap bulan

    BalasHapus
  37. Setuju banget, berbagi enggak harus menunggu kaya. Dan menghadiahi diri sendiri pun juga enggak harus menunggu sukses. Semangat selalu ya Mbak.

    BalasHapus
  38. Literasi juga yang membawa saya bisa mendapatkan penghidupan yang layak seperti sekarang Mak. Alhamdulillah sejak kecil sudah dibiasakan untuk gemar membaca dan menulis, sehingga saat dewasa tinggal cari jalannya untuk bisa menghasilkan dari situ. Beruntung banget bisa jadi blogger dan ketemu dengan banyak sosok yang inspiratif termasuk teman-teman komunitas blogger di Indonesia :D

    BalasHapus
  39. Cerita yang sangat menggugah mbak. Dengan meliterasi bisa "naik pangkat" dengan cepat dan tetap menanjak sampai sekarang. Itu artinya punya jiwa fighter yang tinggi dan punya semangat literasi yang luar biasa.

    BalasHapus
  40. wow luar biasa banget perjalanannya mbak. Iya aku juga dulu hampir sama sih. payah banget soal memberi kebahagiaan kepada diri sendiri. tapi ya makin lama makin sadar buat menjalani hidup dengan happy dan mengalir aja. tetap semangat!

    BalasHapus

Posting Komentar